Jika anda menghabiskan cukup banyak waktu bekerja di perusahaan dengan skala yang besar (dan mungkin tradisional), Anda mungkin merasakan dan melihat sendiri efek HiPPO. HiPPO adalah akronim dari Highest Paid Person’s Opinion, istilah yang pertama kali diciptakan oleh Avinash Kaushik dalam bukunya Web Analytics: An Hour a Day.
Efek HiPPO biasanya mulai bermain ketika sekelompok orang berusaha untuk membuat keputusan, dimana biasanya keputusan tersebut yang diambil berdasarkan opini dari orang yang hierarki atau memiliki kedudukan paling tinggi di ruangan tersebut. Bahasa sederhananya, kita cenderung tidak menggunakan analisa yang objektif ketika memutuskan sesuatu, namun memilih solusi untuk menyenangkan orang paling senior di ruangan.
Hal ini bahkan mungkin lebih parah terjadi di negara-negara Timur, seperti Indonesia, dimana berdasarkan budaya, menentang pendapat orang yang kedudukan yang lebih tinggi, atau yang lebih tua, atau yang lebih senior, dianggap sebagai sebuah norma yang tidak sopan.
Bias Otoritas
HiPPO bisa terjadi karena manusia memiliki kecenderungan “bias otoritas” seperti yang digambarkan dalam percobaan Milgram yang dilakukan pada tahun 1963. Eksperimen ini menunjukkan “kesediaan peserta untuk mematuhi figur otoritas yang menginstruksikan mereka untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani pribadi mereka”, yang pada eksperimen Milgram, tindakan tersebut melibatkan pemberian kejutan listrik kepada orang lain yang bisa berakibat kematian.
Kita cenderung percaya kepada orang-orang yang kita anggap sebagai “ahli” untuk melakukan apa yang mereka perintahkan. Kecenderungan ini tentu saja membantu dalam banyak hal, namun dalam bisnis, hal ini dapat membungkam pendapat-pendapat berharga yang bisa saja muncul.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil organisasi untuk menghalau efek HiPPO:
Waspada efek HiPPO. Pengingkatan kesadaraan terhadap efek HiPPO di suatu organisasi adalah langkah pertama yang bisa diambil. Di British National Health Service (NHS), untuk meningkatkan kesadaraan tersebut, mereka mencoba membuat tanda di pintu ruang rapat, bertuliskan “Park hierarchy at the Door”. Hanya dalam beberapa hari, karyawan merasa lebih percaya diri berbicara. Intinya, perlu dibuat suatu budaya di dalam organisasi untuk mendorong masing-masing karyawan agar berani menyuarakan pendapatnya tanpa dihakimi.
Biarkan yang si Junior memimpin Meeting. Sebuah studi di Rotterdam School of Management, ditemukan bahwa proyek yang dipimpin oleh Junior Manager memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada yang dipimpin oleh yang lebih senior. Hal ini terjadi karena dalam proyek yang dipimpin oleh Junior Manager, karyawan lebih nyaman dalam memberikan pendapat, menantang asumsi dan memberikan umpan balik yang jujur. Sedangkan dalam tim dengan manajer senior, anggota team takut menyuarakan pendapat mereka.
Data, data, data! Ya, selalu menggunakan data untuk memutuskan sesuatu. Jangan lupa bahwa preferensi data daripada penilaian subyektif juga sama penting. Harvard Business Review menemukan bahwa walaupun 80 persen responden survei mengandalkan data dalam peran mereka dan 73 persen mengandalkan data untuk membuat keputusan, 84 persen masih mengatakan penilaian manajerial merupakan faktor ketika membuat keputusan.
Bagaimana jika Anda si HiPPO?
Jika dalam kasus ini Andalah si HiPPO (maaf), Anda bisa mengiikuti contoh Alfred Sloan, CEO General Motors yang “memiliki keyakinan kuat tentang pengambilan keputusan; mereka tidak boleh dibuat hingga seseorang mengatakan kenapa opsi yang ‘disukai’ mungkin bukan yang tepat.” Memasukkan anggota team yang kritis ke dalam team mungkin terlihat menyulitkan, namun sebenarnya itu langkah yang bijak.
Ingat, berhati-hatilah jika semua orang di ruangan setuju dengan pendapat anda.